Minhus Nata

Kami terlambat berangkat ke Masjidil Haram subuh itu. Perut agak mules. Namun, meski sudah terdengar adzan kami tetap berjalan menuju masjid. Manusia bagaikan semut ‘berbaris’ menuju Masjidil Haram. Kami dari arah Ajyad. Kami ingin shalat paling tidak di lantai dua. Di lantai satu sudah tidak mungkin karena sekarang peraturannya hanya jamaah umrah yang berpakaian ihram yang boleh ke pelataran Ka’bah. Ada satu pintu menuju lantai satu yang dibuka, dekat elevator pintu Al-Aziz. Tapi, di waktu-waktu mepet seperti ini tentu sudah ditutup.

Ya benar. Kami sampai di pelataran dekat Toilet nomor 3. Para jamaah sudah padat duduk berbaris di pelataran. Mau berjalan membelah barisan duduk mereka pun, rasanya sudah sulit. Tentu pintu incaran itu sudah ditutup. Mau tidak mau kami harus mengikuti arus ke lantai teratas, ke rooftop.

Suasana di rooftop masih relatif longgar.

“Aku di depan situ, ya. Nanti aku ke sini setelah shalat,” kata suamiku.

“Langsung atau tidak?” begitu selalu pertanyaan standarku di waktu seperti itu. Jika tidak jelas tentang hal ini, kami bisa saling menunggu tak jelas tempat dan waktu.

“Tidak, sekitar setengah jam setelah salam,” jawab suamiku.

Suamiku mencari tempat di depan, dan aku masuk hamparan karpet, bercampur dengan banyak jamaah wanita dari berbagai negara. Itu Jum’at pagi. Aku sungguh menikmati bacaan yang merdu dari imam.

Shalat usai. Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kananku.

“Masih lama,” gumamku.

Kulihat beberapa jamaah wanita sudah mulai berkemas dan meninggalkan tempat. Aku maju ke tempat yang lebih dekat dengan lampu. Sebelum duduk aku ambil Al-Qur’an dari rak di bagian depan dan tak lama kemudian mulailah aku melantunkan Surah Al-Kahfi seperti kebiasaanku di rumah kalau hari Jum’at.

Aku selesai membaca. Langit sudah tampak terang, bersih, dan cerah. Suamiku belum muncul juga. Daripada nganggur, aku mau bercakap-cakap dengan seorang ibu yang masih cukup muda. Di sebelahnya dua gadis cantik yang sepertinya putrinya.

Aku (paling kiri) bersama wanita Mesir dan kedua putrinya.

“Min aina Anti?” tanyaku kepada perempuan di sebelah kiriku itu.

“Misr,” jawabnya.

Sebenarnya aku ingin mencoba meneruskan bercakap-cakap dengan bahasa Arab, tapi aku tak percaya diri. Maka aku teruskan obrolanku dengan bahasa Inggris.

“Do you speak English?” tanyaku.

Perempuan itu tidak menjawab langsung. Dia tersenyum dan melanjutkan dengan bahasa Inggris.

“You read Arabic very well, I mean Qur’an. Where did you learn it?”

Wow, aku serasa melayang, senang bukan kepalang. Ada orang “Arab” memuji bacaanku. This is something! Tapi tentu aku tak bisa bersombong begitu, kan? Maka sambil tersenyum pula aku menjawabnya.

“In Indonesia there’re many madrasah to learn Qur’an. Many times the champions of international Musabaqah Qur’an are from Indonesia.”

“Maa syaa Allah … Maa syaa Allah”

Nampaknya perempuan Mesir itu mengira bahwa bisa membaca Al-Qur’an berarti bisa berbahasa Arab. Kita orang Indonesia tahu betul bahwa bisa membaca tulisan Arab sama sekali bukan jaminan bisa berbahasa Arab.

“Dhik Um!”

Kudengar suara suamiku. Aku mendongak. Dia sudah ada di samping “tong plastik” air zam-zam. Aku pun segera pamitan ke perempuan Mesir itu.

Dalam perjalanan pulang, aku ceritakan peristiwa tadi, ya tentu saja dengan menekankan pujiannya kepadaku.

“Yei, sombong kau, ya. Tidak boleh sombong,” katanya.

Aku berargumen, aku tidak sombong, hanya senang saja. Suamiku, seperti biasanya, tidak mau ngotot. Kami jalan keluar, menuju hotel dan cari sarapan. Sehari berlalu, dan waktu subuh hari berikutnya datang.

Rupanya kami tak kebagian lagi shalat di lantai dua, sehingga harus ke lantai atap lagi. Dan kami pun janjian seperti sehari sebelumnya. Sholat subuh berjalan baik dan lancar dan aku selalu menikmatinya. Pagi ini semangatku untuk mengaji di Masjidil Haram sangat tinggi. Mungkin termotivasi oleh peristiwa kemarin. Aku sengaja membawa mushaf Al-Qur’an miniku sendiri untuk mengaji nanti.

Dari dalam tas kukeluarkan Al-Qur’an saku itu dan tentu saja kacamata, tanpa kacamata baca itu aku tidak bisa melihat huruf-hurufnya yang kecil-kecil. Kubaca Juz 9 Surah Al-A’raf karena bacaanku sebelumnya bagian akhir Juz 8. Aku membaca dengan suara lirih karena masih ada ibu-ibu lain di deretan depanku, takut mengganggu mereka. Di sebelah kiriku tapi agak jauh juga ada seorang ibu yang duduk di kursi kecil untuk shalat. Mereka semua orang Arab. Kulirik jam, sepertinya aku harus menyudahi bacaanku, waktu janjian dengan Mas Geng untuk pulang ke hotel.

“Your mushaf is too small for you to read. You read ‘minhis nata’, it should be ‘minhus nata’” tiba-tiba saja wanita yang duduk di kursi itu menegurku tentang bacaanku yang salah. Dia meletakkan telunjuknya di bawah dua kata pada ayat 160 Surah Al-A’raf tersebut. Dia juga mengatakan bahwa aku juga salah baca di dua tempat di dua halaman berikutnya.

“I’m wearing my glasses.”  Aku sangat yakin aku tidak salah baca dan ingin menjelaskan lebih panjang lagi ke ibu tersebut. Kuurungkan niatku, Mas Geng kemungkinan besar sudah gelisah menungguku tidak muncul-muncul.

“Thank you for the correction. Assalamu’alaikum.” sambil tersenyum (pahit) kuakhiri “perdebatan” itu.

Surah Al-A’raf Ayat 60 mirip dengan Ayat 60 dari Surah Al-Baqarah, surah yang pernah kuhafal. Aku tidak terima dibilang salah baca, artinya saja aku tahu bagaimana mungkin bisa salah baca. Selain itu aku kan membacanya dengan suara lirih, pasti dia itu yang salah dengar. Makanya tadi dia mencondong-condongkan badan ke arahku dan kepalanya merendah agar lebih dekat supaya bisa mencuri dengar suara bacaanku. Sambil berjalan pulang, hatiku berkecamuk dengan kemungkinan-kemungkinan itu. Hatiku tetap seperti itu hingga beberapa hari setelahnya. Aku baru bisa “move on” saat kami berangkat bersama-sama rombongan umroh untuk thawaf wada’, segera meninggalkan Makkah menuju Madinah. Aku merasa kali ini Allah mengingatkan aku lagi seperti saat aku berhaji yang pertama. Aku sudah merasa ujub, bangga diri setelah dipuji wanita dari Mesir itu bahwa bacaan Al-Qur’anku bagus. “Astaghfirullahal ‘adhiim, ampuni hamba-Mu ini Yaa Allah,” gumamku berulang-ulang. Aku sudah legowo sekarang, hatiku tidak “panas” lagi. Dengan demikian damailah hatiku dalam perjalanan naik bis ke Madinah yang lumayan lama itu.

Tinggalkan komentar