Bapakku

“Um, piye kabare Bapak? Tanya Ibu Mertuaku saat kami sedang di rumah beliau. “Sehat alhamdulillah Buk,” jawabku lalu aku mencari-cari gambar Bapak yang kuambil sepekan sebelumnya saat menemani Bapak dalam rangka “Piket Birrul Walidain”. Tak dinyana Ibu langsung menangis melihatnya. “Yaa Allah Um, Bapak kok wis tuwek ngene.” Bapak dan Ibu mertuaku memang sudah lama tidak bertemu, sudah lebih dari 10 tahun.

Foto Bapak terlihat dari samping yang kuperlihatkan ke Ibu Mertuaku.

“Putune Bapak kabehe pira?” tanya Ibu lagi saat kami berada di rumah beliau lagi pekan lalu. Terus terang aku tidak hafal jumlah cucu Bapak. Harus kuhitung dulu: Mas Ikin 2, Mas Hudi 2, Ning Ninik 3, Aku 3, Anis, 2, Ifa 4, Ipung 2, Fendik 3 dan Thuthul 2; total 24. “Kale lusin Buk,” jawabku. “Maa syaa Allah, lha lek buyut pira?” tanya Ibu lagi. Apalagi jumlah cicit, aku juga harus menghitungnya meski jumlahnya belum banyak: Mas Ikin 2, Mas Hudi 1, Ning Ninik 1, Anis 1; total 5.  “Gangsal Buk.” Sejurus kemudian Ibu menghitung jumlah total anak + mantu + cucu + cicit Bapak. “Nenem ditambah nenem …,” gumam Ibu. Aku buru-buru meralat, “Kok nenem? Sanga Bu.” Bapak Su’ud dan Ibu Sutarti dikaruniai oleh Allah  9 anak + 9 mantu + 24 cucu + 5 cicit; total 47. “Maa syaa Allah, okeheee…,” Ibu geleng-geleng dan tertawa-tawa mengetahui hal itu.            

Pertanyaan-pertanyaan Ibu Mertua tentang Bapak menuntun mataku ke arah buku kaki kiriku bagian samping kiri. Ada bekas luka memanjang di sana. Setiap aku melihat luka itu, tergambar di benakku Bapak saat muda dan sepeda onthel bututnya serta diriku saat kecil.  Ya, luka itu kudapat saat aku dan kakakku dibonceng Bapak pulang dari kondangan manten di kecamatan sebelah.

Gantengnya Bapakku saat masih muda.

Menambah jawaban pertanyaan Ibu tentang kabar Bapak, kuceritakan juga bahwa sejak Ibuku berpulang, Bapak tinggal sendirian. Bapak memasak nasi sendiri untuk makan beliau sehari-hari dan lauknya dikirimi istri Adik Bungsu yang rumahnya “ungkur2an” dengan rumah Bapak. Kedua rumah tersebut terpisah oleh kebun yang banyak ditumbuhi pisang dan beberapa tanaman lain. Bapak biasa membuat “wedhang” sendiri termasuk saat Ramadhan, minuman untuk berbuka juga beliau buat sendiri.

Dalam dua atau tiga tahun lagi usia Bapak akan mencapai 90 tahun. Itupun kalau tanggal lahir yang tertera di KTP Bapak itu benar adanya. Sedangkan Ibunya Bapak seorang janda miskin buruh tani yang buta huruf, tentulah tidak ada catatan Bapak lahir tanggal dan tahun berapa. Juga menurut cerita orang-orang tua, pada zaman dulu saat mereka lahir orang tua mereka seringkali menambah jumlah angka pada tahun mereka dilahirkan agar menjadi lebih “muda”, tujuannya agar kalau menjadi pegawai masa kerjanya lebih lama, tidak segera pensiun.

“Saat itu menjelang Idul Fitri,” kisah Bapak, satu-satunya kopyah milik Bapak yang sudah bulukan Bapak jemur di atas atap genting untuk dipakai shalat Hari Raya keesokan harinya. Tak disangka-sangka, hujan deras menerpa dan kopyah itu basah kuyup, tidak bisa dipakai.”

Kali lain, Bapak juga cerita tentang betapa nelangsanya menjalani hidup berumah tangga dalam keadaan serba kekurangan dan itu pun “ngenger”, numpang di rumah orang tua angkat Ibuk, yang juga buliknya. “Saat “ning”mu masih bayi, Bapak tidak bisa membelikan “perlak”. Tidak punya uang.” (Perlak adalah alas tidur bayi biasanya dari bahan yang tidak tembus air agar ompol bayi tidak membasahi Kasur. Perlak ini juga biasanya oleh orang-orang waktu itu biasa dipakai sebagai taplak meja makan.)

Sebagai orang yang menumpang, Bapak dan Ibuk harus bekerja keras. Bapak membantu bekerja di sawah dan kalau musim panen tiba setiap hari menjemur gabah. Ibu melakukan pekerjaan terkait  rumah tangga: mencuci pakaian di sungai, memasak, membersihkan rumah dan lain-lain. …

Kakak Ketiga menangis meraung-raung sambil memangil-manggil nama Bapak; aku dan saudara-saudaraku yang lain juga menangis; Ibu tidak bersuara tapi air matanya berlelehan. Bapak mengalami kecelakaan! Rumah sakit di Pasuruan tidak sanggup menangani. Cidera Bapak terlalu parah, Darah terus menerus keluar dari mulut dan hidung Bapak. Bapak harus dilarikan ke Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang. Bagaimana ini? Bagaimana kalau Bapak tidak tertolong? Bagaimana kalau Bapak …?

Bagaimana Bapak bisa mengalami kecelakaan? Dimana kecelakaan itu terjadi? Saat itu Bapak dalam perjalanan pulang kerja dari Grati tempat beliau bertugas sebagai kepala KUA, penghulu. Bapak meniti karir di lingkungan Departemen Agama dari bawah (sekarang dinamakan Kementrian Agama) sebagai pegawai rendahan dan lama kelamaan diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Beji, di kecamatan tempat kami tinggal. Bapak kemudian beberapa kali dipindah di kecamatan lain di Kabupaten Pasuruan: Gempol, Grati dan terakhir Kraton. Entah sudah berapa banyak pasangan yang dinikahkan oleh Bapak saat menjadi penghulu. Mestinya sangat banyak belum lagi pasutri-pasutri yang bermasalah dan nyaris bercerai lalu dibuat rujuk kembali. Apakah ada berkahnya? Mungkin saja. Nyatanya kesembilan anak Bapak Ibuk semuanya menikah dan keluarganya semua baik-baik. Aku masih ingat kalau enam anak pertama menikah dalam enam tahun yang berurutan. Sangat lancar … Maa syaa Allah. …

Bapak saat masih aktif.

“Waktu itu Bapak merasa sangat nelangsa, Bapak pinjam uang dari … (Bapak menyebut nama seseorang mampu yang masih famili jauh) untuk biaya kuliah kalian tapi tidak dikasih,” kisah Bapak lagi. “Bapak sungkan kalau harus pinjam uang lagi ke … (Bapak menyebut nama seorang mampu lainnya yang tinggal di Kepanjen, juga famili jauh). Hebatnya Bapak dan Ibuk, kami semua bersembilan adalah sarjana, kami semua dikuliahkan. Bagaimana mereka berdua mampu melakukannya padahal dalam satu waktu kadang ada 4 anak yang sedang belajar di perguruan tinggi. Aku hanya bisa membayangkan betapa Bapak Ibuk harus berjumpalitan tak keruan, “kepala dibuat kaki, kaki dibuat kepala.” Hasilnya, kami semua menjadi sarjana. …

Sebulan sekali di akhir pekan kuusahakan untuk menemani Bapak.

“Kok 2 malam nginapnya di rumah Mbah Kung? Menghindari macet?” tanya Ikyu setiba kami dari “piket” di rumah Bapak. “Tidak Le. Supaya bisa menemani Mbah Kung lebih lama,” jelas aku. “Kalau tidak ingat perintah agama untuk berbakti pada orang tua ya maunya sebentar saja menemani Mbah Kung. Semua orang jelas merasa paling nyaman berada di rumahnya sendiri,” tambah Mas Geng.

Jadwal Piket Birul Walidain.

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, ….” (QS. Al Isra ayat 23).

Bapak, kami selalu berdo’a agar di penghujung usia, Bapak selalu sehat. Dan bila nanti dipanggil oleh Allah, Bapak husnul khotimah. Aamiin …. Bapak juga, mintalah pada Allah hal sama pada setiap sujud Bapak. Berdo’alah juga agar Bapak istiqamah dalam beribadah.”

Bapak dengan anak cucu pada  Idul Fitri 1443 H.


Engkau telah mengerti hitam,
Dan merah jalan ini,
Keriput tulang pipimu gambaran,
Perjuangan,

Bahumu yang dulu kekar,
Legam terbakar matahari,
Kini kurus dan terbungkuk, Hm-mm-hm-mm

Namun semangat tak pernah pudar,
Meski langkahmu kadang gemetar,
Kau tetap setia,

Ayah, dalam hening sepi, kurindu,
Untuk menuai padi milik kita,
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan,
Anakmu sekarang banyak menanggung beban

(TITIP RINDU BUAT AYAH, Ebiet G. Ade)

Satu pemikiran pada “Bapakku

  1. Fatimah

    Ya Umik sudah aku baca tulisannya, sedih sekali membacanya, saya jadi ingat Mbah Ibuk yg sudah almarhumah. Padahal Mbah Ibuk pernah bilang saya uutk main ke Bangil sama Umik biar tahu, Eh sampek rumah dan tokonya dijual dan sampek Mbah Ibuk meninggal belum kesampaian. Saya jadi ikut sedih Mik. Ucapan Mbah Ibuk jadi kenangan bagi saya jadinya. Terima Mik kasih tulisannya😭😭😭

Tinggalkan komentar