Mahar Sarung

“Aku tak memiliki apa-apa untuk mahar,” katanya lirih di hari itu.

Aku tidak bereaksi. Punya atau tidak punya, mahar kan harus diberikan. Hening sejenak. Itu sekira tiga bulan kami akan menikah. Mahar juga tidak harus mahal.

Tapi, masak kami tak jadi menikah gara-gara tidak ada mahar. Bukan aku mencintainya membabi buta, bahkan aku menerimanya pun tanpa rasa saat itu. Aku hanya yakin dia orang baik. Keyakinan itu semakin tebal setiap hari.

Aku jadi ingat kisah di zaman Rasulullah.

Ada seorang wanita menjumpai Rasulullah dan berkata; “Aku datang kepadamu untuk menyerahkan diriku kepadamu.” Rasulullah berdiri agak lama dan memandangi perempuan itu dengan seksama. Karena Rasulullah tidak menjawab, seorang laki-laki yang ada di dekat situ berkata; ‘Wahai Rasulullah, jika Engkau tidak berkenan dengannya, nikahkanlah aku dengannya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menoleh ke lelaki itu dan bertanya, ‘Apakah kamu punya sesuatu yang bisa dijadikan mahar untuknya?’ Laki-laki itu menjawab; ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Carilah terlebih dahulu.’ Lalu laki-laki itu pergi, dan kembali tak lama kemudian, berkata; ‘Demi Allah, aku tidak menemukan apa-apa.’ Beliau bersabda, ‘Pergi dan carilah lagi meski hanya cincin dari besi.’ 

Kemudian laki-laki itu pergi, dan saat kembali dia berkata; ‘Aku tidak menemukan apa-apa walau cincin dari besi.’ 

Laki-laki itu mengenakan kain sarung, dan rupanya dia sadar itu, maka dia berkata; ‘Aku akan menjadikan kain sarung ini sebagai mahar.’ 

Rasulullah menimpali, ‘Jika kamu pakaikan sarung itu padanya, maka kamu tidak akan memakai apa-apa. Jika kamu yang memakai sarung itu, dia tidak akan memakai apa-apa.’ 

Laki-laki itu duduk termenung, dan kemudian pergi. Rasulullah meminta seorang sahabat untuk memanggilnya. Laki-laki itu pun datang. 

‘Apakah kamu mempunyai hafalan dari Al-Qur’an?’ tanya Rasulullah.

Laki-laki itu menjawab; ‘Ya, saya hafal surat ini dan ini.’ 

Lalu beliau bersabda, ‘Maka, aku nikahkan kamu dengan wanita itu, dengan mahar apa yang telah engkau hafal dari surah Al-Qur’an.’

Tapi masak ya saya mau dikasih cincin besi, atau sarung? Hafalan Qur’an, tentu tidak. Hafalannya sangat sedikit dan itu pun tidak fasih dilantunkan. Aduh. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menengok ke arahnya. Dia tidak tegang, tapi malah tersenyum. Aku jadi agak jengkel. 

“Apa? Kamu mau menikahiku dengan mahar sarungmu?” tanyaku sewot. Aku kira dia sedang membayangkan itu karena sekitar sebulan sebelumnya kami mengobrolkan hadis itu.

Dia malah semakin lebar tersenyum. Aku mencubitnya dengan besar dan lama sambil memuntirnya. Aku mencubitnya di lengan atasnya, bagian yang tertutup kain lengan kemeja. Berusaha tidak menyentuh kulitnya secara langsung. Dia mengaduh, maka aku lepaskan.

“Nggak,” katanya. “Sarungku sudah ngeper semua.”

Sarung ngeper itu maksudnya sarungnya sudah menjadi seperti per mobil. Lama tak disetrika mengerut bagian bawah dan bergerak-gerak seperti per.

“Terus?” tanyaku.

Dia bilang di jaman dulu ada mahar lain yang juga unik. “Mau kukasih itu sebagai mahar?”

Apa yang dimaksud? Mungkin baju besi karena Rasulullah meminta mahar baju besi Ali untuk menikahkannya dengan Fatimah.

 “Baju besi?” tanyaku.

“Bukan. Suatu hari Rasulullah diminta menikahkan seorang perempuan dari Bani Faza’ah. Rasulullah menanyakan kepada calon suami perihal maharnya. Si lelaki itu menjawab bahwa maharnya adalah sepasang sandal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling kepada calon pengantin perempuan dan bertanya, “Apakah engkau meridhakan dirimu dan apa yang kau miliki dengan mahar sepasang sandal?” Perempuan tersebut menjawab, “Ya” Rasulullah pun menikahkan mereka.”

“Jadi, kamu mau menikahiku dengan sepasang sandal! Gak mau!” kataku ketus.

“Aku terima nikahnya dengan mas kawin sepasang sandal jepit Swallow,” katanya sambil tertawa.

Aku cubit dia sekejam-kejamnya. Dia berteriak dan ada terdengar suara, ‘ada apa Rek?’ dari dalam. Rupanya teman kosku mendengar keributan itu.

Kami diam. Kembali memutar otak. Mas Sugeng menolak untuk memakai cincin emas yang telah dia belikan dari uang tabungannya untukku saat lamaran dulu itu. Awalnya aku punya ide untuk mengembalikan cincin itu agar bisa dipakai untuk mahar. 

Kami diskusi serius dan akhirnya setuju dengan mahar ala orang miskin di zaman Rasulullah itu dengan sedikit modifikasi. Jadinya maharnya adalah perlengkapan untuk ibadah yang terdiri dari mukena,  sarung untuk perempuan, dan satu mushaf Al-Qur’an. Karena dia tidak bisa baca Qur’an, maka maharnya mushaf saja. Cincin besi? Tidak. Baju besi, Tidaaaak!

Nanti bilangnya ‘seperangkat alat shalat dan mushaf al qur’an.’ Sedikit lebih bagus lah daripada diucapkan “sarung dan alqur’an.”

Lalu, apakah akan ada pesta? Calon suamiku sudah sejak awal mengatakan dia dari keluarga miskin tak akan mampu membuat pesta. Tapi Bapak menginginkan resepsi untukku. Bagaimanapun  aku anak perempuan.

Diskusi pun terus berlanjut tak ada kesimpulan. Aku membawa gagasan Bapak untuk mengadakan resepsi di rumah Bapak. Meski Bapak tak minta biaya apa pun dari dia, dia tetap menolak karena keluarganya pasti malu tidak bisa mengimbangi. Di akhir diskusi itu kami sepakat bahwa aku harus matur kepada Bapak untuk tidak mengadakan resepsi.

Begitulah, aku mengabarkan keinginan calon suamiku itu kepada Bapak. Awalnya Bapak menolak. Bapak termasuk tetua terpandang di desa kami. Mungkin beliau merasa tidak selayaknya menikahkan anak tanpa resepsi. Ibu tak pernah menyatakan keberatan. Diam saja. Mungkin menahan tidak berkomentar. Namun, keesokan harinya Bapak mengatakan bahwa beliau setuju menikahkanku tanpa resepsi. 

Aha! Satu masalah selesai. Ditentukan hari itu adalah hari Jumat 11 September. Tak ada persiapan istimewa. Saudari-saudari Ibu membantu menyiapkan hidangan untuk menjamu rombongan temanten laki. Karpet dihamparkan di ruang tamu yang tidak begitu luas. Aku mencoba santai. Pagi itu sebelum mandi aku masih menyempatkan bersih-bersih, kukorek-korek kotoran burung dara di teras depan kamar mandi. Saudara-saudaraku telah ada di rumah itu semua.

Oh ya, Ibu memaksaku agar mau dirias, beliau sudah memanggi tukang rias. “Bagaimanapun ini adalah hari istimewamu. Sekali seumur hidup,” rayu Ibu.

Akhirnya aku pun dirias. Aku tidak tahu apakah itu rias ala Madura atau apa, mungkin khas jawa timuran. Di tempatku, di acara akad nikah seperti itu, pengantin perempuan tidak akan keluar ke depan penghulu. Dia akan tetap di ruang tengah bersama tamu-tamu perempuan. Nanti setelah akad nikah selesai, pengantin laki-laki yang akan datang menghampiri pengantin perempuan dengan membawa mahar, kemudian mereka berdua disuruh masuk kamar pengantin. Jadi, tidak masalah jika dalam riasan itu aku tidak berjilbab.

Bagaimana perasaanku saat itu? Aku tidak tahu… aku tidak bisa mendeskripsikannya. Seperti ….

Rombongan pengantin laki-laki datang. Terdengar bacaan shalawat. Aku tak bisa melihat itu semua. Kakak perempuanku yang melaporkan pandangan mata apa yang terjadi kemudian. 

Bapak-bapak tamu undangan berdatangan. Rencananya, yang akan menikahkan kami adalah seorang Kiai kampung yang cukup terpandang. Namanya Gus Mad. Tetangga nenekku di Sladi. Semoga doanya makbul sehingga kami berdua dapat membina rumah tangga yang bahagia dunia akhirat.

Penghulu datang. Gus Mad juga sudah rawuh. Terdengar suara orang-orang bercakap-cakap. Aku berdoa semoga Mas Sugeng tidak lupa hafalan ijab kabulnya. Dia kupaksa menghafal ucapan ijab kabul itu dalam bahasa Arab. Ayahku Kepala KUA dan yang menikahkan kami nanti Kiai, masak Mas Sugeng mengucapkan  ijab kabulnya pakai bahasa Indonesia.

Terdengar dari dalam kamar rangkaian acara itu dimulai. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an, sambutan, dan kemudian akan dimulai ijab kabul. “Mas, pleeeeease, jangan lupa, ya,’ bisikku.

Tiba-tiba suara pembawa acara terhenti. Agak riuh suara terdengar. Ada apa? Jantungku berdetak kencang. Apakah ada sesuatu yang menghalangi?

Sebentar kemudian terdengar suara MC yang menyilakan tamu yang baru datang. Rupanya suara riuh tadi adalah suara menyambut tamu undangan itu. Beliau adalah Kyai Ahmad Subadar, seorang Kyai besar di Pasuruan, Jawa Timur. Aku berusaha mengikuti apa yang terjadi di ruang tamu dari kamar. Suaranya memang kadang jelas kadang tidak. Tapi aku bisa mengait-kaitkan semua kejadian dari suara yang kadang tidak jelas itu.

Maa syaa Allah…. Yang akan menikahkan kami adalah Kyai Ahmad Subadar. Calon pengantin diminta maju ke tempat yang telah dirancang, di depan Kyai Ahmad Subadar. “Ya Allah. Please Mas Geng, jangan lupa. Jangan memalukan,” bisikku. Aku pernah lihat di video seorang pengantin ada yang harus mengulang ijab kabul hingga lima kali dan jadi bahan tertawaan. 

Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti …” Terdengar Kyai Subadar memulai dengan ijab.

Selanjutnya, selalu ada puisi tercipta di setiap momen kehidupan kami.

Tak lama kemudian kudengar suara Mas Geng, “Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan.”  Mas Geng mengucapkan itu dengan lancar. Jantungku berdetak kencang dan mulai saat itu aku telah menjadi istrinya, menyerahkan seluruh masa depanku kepada lelaki yang sebenarnya tidak begitu kukenal ini.

“Mohon kepada para saksi untuk maju ke depan,” terdengar suara dari pelantang. 

“Kepada Bapak Abdul Wahab, Ph.D. dan Bapak Adnan Latief, Ph.D. dipersilakan.”

Wow, aku tidak menyangka Mas Sugeng diam-diam mengundang kedua mentor kami dalam hal akademik dan kehidupan itu untuk menjadi saksi pernikahan ini. Beliau berdua adalah dosen kami.

Hari itu adalah hari terindah dalam hidupku meski tanpa pesta resepsi pernikahan. Hari itu kuterima seorang lelaki membawakan sekotak karton yang dibungkus dengan kertas mengkilap warna merah muda bergambar bunga mawar, berisi sarung, mukena dan mushaf Al-Qur’an, DAN sepotong puisi, ke dalam kamarku, ke dalam hidupku. Aku menerimanya dengan ikhlas dan menyerahkan diriku dengan ridha. Sarung adalah penutup aib, mukena adalah pakaian untuk menghadap Allah, dan Al Qur’an adalah pedoman hidup. Apalagi yang kuharap? Satu, semoga dia bisa menjadi imamku selamanya.

Sarung dan mukena itu kupakai setiap hari untuk shalat. Semakin lama kondisinya semakin renta dan mudah sobek. Mushaf itu sekarang sudah berbercak-bercak kotor halamannya. Kualitas kertasnya sangat jauh di bawah mushaf-mushaf baru kami. Kami sepakat untuk menyimpan semua itu, di kotak karton berlapis luar kertas mengkilap bungkus kado, warna merah muda bergambar bunga mawar. Kami akan mempertahankannya abadi di sana, di hati kami, in syaa Allah hingga maut memisahkan kami dan semoga berjodoh lagi di Surga-Nya kelak.

Selalu terbayang sabda Nabi, “Sesungguhnya pernikahan yang paling berkah adalah yang sederhana belanjanya” (HR Ahmad). 

Tinggalkan komentar